Penulis :
Ahmad Basri
Ketua : K3PP Tubaba
Tulang Bawang Barat|Prokontra.news|-Krisis ekonomi jilid dua era 98 sudah didepan mata. Warning akan terjadi krismon ini sudah sering disampaikan oleh berbagai kalangan.
Tanda - tandanya banyak PHK di berbagai perusahaan, larinya perusahaan atau memindahkan perusahaan ke luar negeri, dollar melambung tinggi.
Mall, pasar sepi pembeli, toko - toko tutup gulung tikar, harga komoditas pertanian perkebunan tidak ada nilai jual dan sulitnya lapangan kerja.
Ditambah pengangguran semakin meluas serta belum lagi perilaku korupsi dimana - mana plus hutang luar negeri yang terus membengkak.
Lengkap sudah kondisi negeri yang semakin “ gelap “. Indonesia cemas bukan indonesia emas. Indonesia emas tentu memiliki parameter tapi parameter itu tidak ada yang terlihat.
Dalam kontek kondisi lingkungan global terlihat dengan kebijakan tarif perdagangan yang diterapkan oleh Presiden AS, Donald Trump, 32 - 43 persen semakin menambah suramnya ekonomi indonesia.
Para pengamat menilai penerapan bea masuk perdagangan oleh AS sebuah tanda bahwa AS sedang mengalami “ krisis “ ekonomi di dalam negeri. Ekonomi keuangan mengalami defisit, bursa pasar modal mengalami penurunan.
Sudah menjadi rahasia umum jika kondisi ekonomi AS mengalami “ flu batuk “ efeknya begitu besar bagi perekonomian global.
Apalagi jika ekonomi AS mengalami “ serangan jantung “ tidak bisa dibayangkan apa yang bisa terjadi. Semuanya menjadi sengsara. Dunia menjadi gelap. Tatanan politik ekonomi global berubah drastis.
Negara - negara kapitalis pinggiran yang mengalami ekonomi ketergantungan dengan AS paling terkena dampaknya. Negara kapitalis pinggiran pasti yang akan merasakannya. Salah satunya siapa lagi kalau bukan indonesia.
Ciri - ciri negara kapitalis pinggiran dalam konsep pembangunan selalu bertumpu pada kekurangan modal dan rendahnya kemampuan teknologi plus sumber daya manusia yang lemah. Pada perencanaan pembangunan jalan satu - satunya tidak lain lari ke IMF, World Bank untuk meminjam utang.
Prof Dr. Arief Budiman, guru besar ilmu politik ekonomi pembangunan, dalam bukunya “ Teori Pembangunan Dunia Ketiga “ yang ditulis di era 1995, setidaknya masih sangat relevan untuk melukiskan sebuah kondisi negara - negara kapitalis pinggiran, yang akan terus mengalami kemiskinan akibat bergantung dengan “ kapitalis satelit “.
Saya masih mempercayai apa yang dikemukakan oleh Prof Arief Budiman ( alm ) akan menjadi kenyataan dan sepertinya memang nyata. Indonesia cemas bukan emas bukan utopis. (Red)