Penulis :
Ahmad Basri
Ketua : K3PP Tubaba
Tulang Bawang Barat|Prokontra.news|- LSM - Wartawan ‘ bodrex ’ satu istilah yang belakangan ini menjadi diskursus yang menarik. Istilah ini menjadi perbincangan publik disebabkan pernyataan Menteri Desa Pembangunan Desa Tertinggal Dan Transmigrasi (PDTT), Yandri Santosa. Istilah LSM Wartawan ‘bodrex’ memberikan makna tentang adanya perilaku LSM - Wartawan yang bekerja tidak sesuai dengan norma - norma etik moral profesi.
Dalam dunia medis kesehatan istilah ‘bodrex’ merujuk pada salah satu merk obat sakit kepala.Mudah didapat dan dibeli di toko - toko tradisional maupun modern. Hampir semua dipastikan apotik menyediakan menjual obat sakit kepala berlabel bodrex.Setidaknya publik sudah mengetahui bahwa ‘ bodrex ’ merupakan obat sakit kepala bukan obat untuk panu, kurap atau kudis.
Sejarah istilah lahirnya LSM - Wartawan ‘bodrex’ memang tidak banyak orang tahu termasuk penulis sendiri.Belum ada satu research yang meneliti kapan istilah itu muncul dan siapa yang pertama kali mengistilahkannya. Namun fenomena sejarah istilah LSM - Wartawan ‘bodrex’ menjadi begitu terkenal pasca reformasi dengan dibukanya kran kebebasan di dunia media
Pasca reformasi politik 98 regulasi di segala bidang dibuka seluas - luasnya oleh pemerintah. Segala kemudahan diberikan dalam berbagai macam bentuk khusus dalam bidang kebebasan politik (Baca : UUD 45 Pasal 28E Ayat 3) salah satunya adalah lahirnya berbagai macam perusahaan media baik online maupun cetak serta diiringi oleh munculnya organisasi profesi wartawan dan ratusan hingga ribuan awak media. Belum lagi munculnya berbagai nama LSM dimana - mana.
Pertanyaan paling mendasar apakah LSM - Wartawan dengan istilah ‘bodrex’ itu ada. Secara empiris realitas jika merujuk pada kata personality (oknum) tentu saja ada tidak bisa ditutupi - tutupi. Oknum - oknum inilah yang setidaknya telah merusak mencoreng mengkhianati profesi LSM - Wartawan yang sesungguhnya. Kemuliaan profesi yang melekat dari tujuan atau keberadaan LSM - Wartawan setidaknya mereduksi bahwa seolah - olah semuanya adalah ‘bodrex’.
Jika kita ingin obyektif meminjam istilah ‘bodrex’ untuk melihat perilaku oknum ‘nakal’ tidak menjalankan profesi yang mulia tidak hanya dalam ruang lingkup LSM - Wartawan, setidaknya hampir seluruh institusi kelembagaan negara dapat dikatakan dipenuhi oleh oknum ‘bodrex’.Mungkin lebih parah dari LSM - Wartawan ‘bodrex’ yang sesungguhnya.
Pernyataan Menteri Desa Pembangunan Desa Tertinggal Dan Transmigrasi (PDTT) Yandri Santosa setidaknya harus dipahami sebagai otokritik untuk melihat realitas empiric ke dalam bahwa LSM - Wartawan ‘bodrex’ memang ada dan merupakan bentuk seperti ‘benalu parasit’ yang harus menjadi musuh bersama di kalangan LSM - Wartawan sendiri yang masih menjunjung nilai - nilai moralitas etika profesi.
Siapa lagi yang akan menjunjung dan menghargai nilai - nilai moralitas profesi jika bukan kalangan LSM - Wartawan sendiri. Sebagai fungsi kontrol sosial LSM - Wartawan sesungguhnya melekat apa yang disebut dalam dunia hukum ‘Officium Nobile’ sebagai soko guru kemuliaan dalam menjalankan profesi. Ketika ‘Officium Nobile’ tergadaikan menjadi ‘preman jalanan’ maka jatuhlah kemuliaan. Publik tidak lagi menghargai dan menghormati. Dampaknya oknum yang baik menjadi rusak karena ulah segelintir orang.
Dan kita pun tidak menutup mata bahwa sejak bergulirnya guyuran Dana Desa miliaran dikelola oleh aparatur desa kepala desa penyimpangan lahir dimana - mana. Desa menjadi ladang subur lahirnya korupsi. Proyek - proyek ‘abal - abal’ atas nama Dana Desa mudah sekali ditemukan. Gaya hidup dan penampilan telah merubah perilaku (oknum) kepala desa di tengah masyarakat. Mabuk jabatan kekuasaan setidaknya banyak kita lihat saat ini. Pola seperti ini yang pada akhirnya menciptakan lahirnya (oknum) bersimbiosis dengan LSM - Wartawan ‘ bodrex ’. (Red)