Breaking news

Jumat, 15 November 2024

Pesan Bawaslu : Stop Politik Uang, Pilkada Jujur, Rakyat Makmur


Penulis : 👇

Ahmad Basri 

Ketua : K3PP Tubaba

Tulang Bawang Barat|Prokontra.news|-Tema tulisan diatas sangat menarik dan sengaja penulis “ ambil “ dari narasi yang dibangun oleh Bawaslu Lampung, khususnya dalam menyikapi pilkada serempak yang akan jatuh pada tanggal 27 November 2024 ini. Slogan itu dapat terlihat di sepanjang jalan protokol di seluruh wilayah lampung tidak terkecuali di tubaba. Mengkampanyekan stop politik uang, pilkada jujur, rakyat makmur. Tentu Bawaslu memiliki alasan tersendiri mengapa memberi narasi tersebut dan setidaknya memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Ada pesan moral politik hukum di dalamnya sebab berkaitan dengan proses rekrutmen politik kepemimpinan.


Sebagai penyelenggara pemilu - pilkada selain KPU tentu Bawaslu memiliki kewenangan yang melekat khusus dalam Pasal (1) (3 ) undang - undang no.7 Tahun 2017. Di dalam pasal tersebut memberikan penjelasan bahwa Bawaslu memiliki tugas “ mengawasi “ seluruh aktivitas kegiatan penyelenggaraan pemilu di seluruh indonesia.Sedangkan di dalam pasal (93) Bawaslu memiliki tugas pencegahan dalam praktik politik uang serta mengawasi netralitas aparatur sipil negara ( asn ),  TNI dan Polri.


Politik uang sesungguhnya merupakan perilaku kotor yang mudah sekali kita temukan di dalam setiap hajat politik dalam berbagai dimensi kehidupan sosial. Politik uang menjadikan wajah demokrasi ( Baca Pilkada ) menjadi tidak memiliki makna moral bagi mereka yang terpilih sebagai pemimpin. Inilah buruknya politik uang mencederai nilai - nilai demokrasi dan memiliki daya pengrusak yang sangat luar biasa di tengah masyarakat. 


Masyarakat dididik menjadi “ mental pengemis “ bagi mereka yang haus akan kekuasaan dan jabatan. Politik uang dalam pilkada merupakan tindakan ilegal non konstitusional yang harus menjadi perlawanan kita bersama. Membiarkan, mendiamkan atau memberi ruang lahirnya politik uang dalam pilkada, maka sesungguhnya sama saja ikut andil menjadikan moral bangsa hancur berkeping - keping. Inilah tantangan terbesar untuk menyelamatkan nilai - nilai demokrasi yang semakin hari terkikis oleh pragmatisme politik uang.


Praktik politik uang bisa dimaknai bahwa ada yang tidak siap kalah dalam pilkada. Bisa jadi hal ini dikarenakan perasaan moral spiritual kebatinan politik merasa kalah sebelum bertanding. Kegalauan perasaan ini yang menjadi stimulus lahirnya politik uang. Modal logistik financial melimpah namun minum dukungan politik publik. Dibalik itu kondisi masyarakat yang sedang “ sakit “ secara moral ekonomi menjadikan politik uang menjadi peluang mencapai kemenangan dengan cara amoral.


Metode praktik politik uang dalam pilkada tidak lagi dilakukan dengan cara sembunyi - sembunyi, namun dilakukan dengan transparan terang benderang tanpa ada rasa takut sama sekali, bahwa itu sebuah tindakan yang masuk ranah perbuatan melawan hukum. Misalkan, pendataan  warga masyarakat dengan cara mengumpulkan KTP dan nomor HP, dengan iming - iming uang adalah salah satu metode yang jamak dilakukan dan mudah ditemukan.


Tradisi politik uang akan bergerak masif di tengah warga masyarakat saat dimana masa kampanye dalam kondisi masa tenang. Biasanya 2 - 3 hari menjelang pilkada dilaksanakan. Artinya bahwa jika tanggal 27 November dilaksanakan setidaknya pada kurun waktu tanggal 24, 25 dan 26, pergerakan politik uang akan menjalankan aksinya.Dalam situasi ini sesungguhnya peran Bawaslu sesuai amanah undang - undang sebagai mesin penindakan penegakan hukum pemilu - pilkada, setidaknya harus mampu mendeteksi pergerakan politik uang itu akan muncul.


Harus kita akui bahwa peran Bawaslu dalam penindakan politik uang dalam pilkada merupakan salah satu pertanyaan kita semua. Ada kesan politik uang tidak menjadi prioritas kerja - kerja Bawaslu dilakukan dengan penuh keseriusan profesionalisme. Ada kesan yang mendalam ditengah masyarakat bahwa, Bawaslu dengan segenap lapisan struktur hingga lapisan terbawah telah melakukan politik pembiaran. Politik pembiaran ini menjadikan citra negatif yang kini melekat sehingga dinilai sebagai bentuk ketidaknetralan dalam pilkada.


Pemimpin yang lahir karena politik uang akan sangat berdampak dalam roda pemerintahan birokrasi. Salah satu dampak adalah lahirnya kebijakan politik ekonomi pembangunan yang tidak pro rakyat. Kebijakan yang akan dijalankan jelas tidak akan berorientasi pada kepentingan masyarakat namun akan menciptakan kantong - kantong kemiskinan di tengah masyarakat. Tidak ada kemakmuran, tidak ada kesejahteraan, namun yang ada adalah kesengsaraan. Itu pasti terjadi sebab orientasi kekuasaan pada akhirnya bagaimana modal yang dikeluarkan itu dapat kembali lagi. Tentu yang dirampok tidak ada lagi kecuali mengakali keuangan APBD dengan segala cara. Proyek - proyek asal jadi atau fiktif akan menjadi modus.


Data pada tahun 2021 -  2023 menurut laporan IWC ( Indonesia Watch Corruption ) ada 61 kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi. Angka tersebut tentu sangat memilukan dan besar apa yang dilakukan oleh kepala daerah. Modus operandi yang mereka ( kepala daerah ) menurut ICW adalah suap menyuap masalah proyek APBD, mengakali anggaran belanja daerah untuk kepentingan pribadi, atau jual beli jabatan. Suap menyuap APBD, mengakali anggaran belanja daerah dan jual beli jabatan menurut ICW adalah modus klasik yang dilakukan kepala daerah. Semua ini tentu merupakan dampak politik - politik uang dalam pilkada, yang akhirnya menjerumuskan kepala daerah untuk berperilaku korup, sehingga yang dirugikan adalah keuangan negara dan hilangnya kemakmuran kesejahteraan kehidupan rakyat. Dalam pilkada 2024 ini setidaknya masyarakat haruslah cerdas pintar memilih pemimpin tidak asal memilih. (Red)